Kebutuhan Umat Terhadap Fiqih Prioritas
Bismillahirrahmanirrahim
Di antara konsep terpenting dalam fiqih kita sekarang ini ialah apa
yang sering saya utarakan dalam berbagai buku saya, yang saya namakan dengan
“Fiqih Prioritas” (fiqh al-awlawiyyat). Yang saya maksud dengan istilah
tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil dari
segi hukum, nilai dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus
didahulukan, berdasarkan penilaian syari’ah yang shahih, yang diberi petunjuk
oleh cahaya wahyu dan diterangi oleh akal
“…Cahaya di atas cahaya…” (An-Nuur: 35)
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan dan
pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama adalah berbeda-beda satu
dengan yang lain. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar, ada
yang kecil. Ada pokok, ada pula cabang. Dia yang memegang peranan penting, ada
juga sebagai pendukung.
“Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan
Allah ? mereka tidak sama di sisi Allah dan Allah tidak memberikan petunjuk
kepada kaum Muslim yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta
berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi
derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendpaat keuntungan.”
(At-Taubah: 19-20)
Para sahabat Nabi saw memiliki antusiasme untuk mengetahui amalan
yang paling utama (atau yang diprioritaskan), untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt. Oleh karena itu banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada
baginda Nabi saw mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai
Allah swt, sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Abu
Dzar dan lain-lain.
“Shalat berjamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian, dengan
kelebihan sebanyak dua puluh tujuh tingkatan.” (Muttafaq ‘Alaih diriwayatkan
oleh Ibn Umar)
“Sesuatu yang paling jelek yang ada di dalam diri seseorang ialah
sifat kikir yang amat berat dan sifat pengecut.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhori
dalam at-Tarikh dan Abu Dawud dari Abu Hurairoh)
Dewasa ini, dibelahan dunia manapun, dapat kita temukan bahwa
pengembangan terhadap dunia seni dan hiburan lebih diutamakan daripada yang
menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam aktivitas pemudanya pun kita
temukan bahwa perhatian terhadap olahraga lebih diutamakan atas olah akal
pikiran. Lalu, apakah manusia itu hanya badan saja, akal pikiran saja, ataukah
jiwa saja ?
Dahulu kita sering menghafal sebuah kasidah Abu al-Fath al-Bisti
yang sangat terkenal, yaitu:
“Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak
mempersembahkan perkhidmatan kepadanya.
Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari sesuatu yang
mengandung kerugian ?
Berkhidmatlah pula kepada jiwa dan carilah berbagai keutamaan
padanya.
Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan
dengan badan.”
Apabila dilihat
dari sisi material, perhatian mereka kepada dunia olahraga dan seni selalu
memakan biaya yang tinggi dan pada saat yang sama, lapangan dunia pendidikan,
serta kesehatan sangat sedikit mendapatkan dukungan dana dengan alasan tidak
mampu atau untuk melakukan penghematan. Hal ini seperti yang pernah dikatakan
oleh Ibn al-Muqaffa’, ”Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di
sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu.”
Sahabat saya yang
bernama Fahmi Huwaidi, pernah menulis suatu makalah yang mengatakan secara
terang-terangan kepada kaum Muslimin, “Sesunggunya upaya penyelamatan kaum Muslim
Bosnia lebih utama daripada kewajiban ibadah haji sekarang ini.”
Akibatnya banyak
yang bertanya tentang hal ini kepada saya dan saya menjawab, “Sesungguhnya
pernyataan penulis itu benar dan juga benar jika ditinjau dari sudut fiqih,
karena sebenarnya telah ada ketetapan syari’ah yang menyatakan bahwa kewajiban
yang perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban yang bisa
ditangguhkan. Dalam hal ini, ibadah haji termasuk ibadah yang bisa
ditangguhkan. Dan tidak adanya tuntuan untuk menyegerakan melakukan ibadah haji.
Sedangkan penyelamatan kaum Muslimin Bosnia dari ancaman akan kemusnahan mereka
karena kelaparan, kedinginan, dan penyakit dari satu segi merupakan kewajiban
yang harus disegerakan pelaksanannya. Lagipula saat ini ada begitu banyak yang
melaksanakan haji sedangkan mereka sudah pernah melakukan hal itu ditahun
sebelumnya.
Bisyr al-Hafi
pernah mengatakan, “Kalau kaum Muslimin mau memahami, memiliki keimanan yang
benar dan mengetahui makna fiqih prioritas, maka ia akan merasakan kebahagiaan
yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat setiap kali dia dapat
mengalihkan dana ibadah haji itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi
makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan orang-orang yang
terlantar, mengobati orang sakit, mendidikan orang-orang yang bodoh, atau
memberi kesempatan kerja kepada pengangguran.”
Saya juga pernah
melihat para remaja yang tekun belajar pada kuliah di perguruan tinggi fakultas
teknik, pertanian, sastra, atau fakultas-fakultas ilmu-ilmu umum lainnya. Akan tetapi
tidak lama kemudian mereka meninggalkan itu semua dan memfokuskan diri untuk
mendalami ilmu agama. Mereka tidak merasa sayang untuk meninggalkannya dengan
alasan ingin ikut serta dalam berdakwah dan tabligh. Akibatnya tidak ada lagi
pemuda Muslimin yang menguasi keilmuan di bidang-bidang tersebut dan
mengalihkan perhatian masyarakat umum yang membutuhkan ilmu-ilmu tersebut
kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal melalui pengetahuan-pengetahuan umum
itu mereka juga dapat ikut andil dalam dakwah dan menjadikannya bernilai ibadah
selama tidak melanggar syariat yang sudah Allah berikan.
Termasuk dalam
kategori ini adalah perhatian mereka yang sangat besar untuk menyingkirkan
dosa-dosa kecil dan melalaikan dosa-dosa besar yang lebih berbahaya, baik
dosa-dosa besar yang berkaitan denga agama seperti, menjadikan kuburan sebagai
masjid, peramalan, sihir, perdukunan, meminta tolong atau berdoa kepada orang
mati ataupun dosa-dosa lainnya yang berupa penyelewengan terhadap sosial dan
politik seperti, mengabaikan musyawarah dan keadilan sosial, hilangnya kebebasan,
kehormatan dan hak asasi manusia, penyerahan suatu urusan kepada yang bukan
ahlinya, perampasan kekayaan umat, penyelewengan hasil pemungutan suara dan
lain sebagainya.
Dan semua ini
membuat umat pada saat ini sangat memerlukan, bahkan sudah sampai pada batas
darurat, terhadap fiqih prioritas yang harus segera dimunculkan, didiskusikan,
diperbicangkan dan dijelaskan. Sehingga bisa diterima oleh pemikiran dan hati
mereka, juga agar mereka memiliki pandangan yang jelas dan wawasan yang luas
untuk melakukan perbuatan yang paling baik.
Sumber: Fiqih Prioritas karya Dr. Yusuf Al Qardhawy
Artworker: LDK Al-Iqtishod
LDK Al-Iqtishod adalah Lembaga yang menaungi seluruh kegiatan dakwah islamiyah untuk menegakkan Tauhid dan Sunnah, serta mengajak kepada Amar Maruf Nahi Munkar di lingkup civitas Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia khususnya dan di Bumi Allah umumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Share is caring, Silahkan berbagi apa saja di sini.