Melintas Batas: Bertahan di Tengah Modernitas
Bismillahirrahmanirrahim
Maha
suci Allah yang telah memperjalankan hamba dari Sentul City ke Rangkasbitung
yang dilanjutkan kembali menuju daerah pemukiman tempat Suku Baduy luar
tinggal, Cijahe. Perjalanan pertama berkunjung ke pedalaman, bukan sekedar
jalan-jalan biasa, namun perjalanan yang membawa misi mulia.
Kisah
ini berawal dari informasi yang aku terima melalui kotak masuk e-mail Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) Al Iqtishod STEI Tazkia. Tepatnya pada tanggal 24 Januari
2016, aku berniat merapihkan laman e-mail LDK yang dipenuhi dengan ribuan
e-mail yang masuk. Setelah memasukan akun identitas beserta kata sandinya,
mataku langsung tertuju pada baris pertama e-mail masuk tertanggal 24 Januari
2016. E-mail itu berasal dari Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) yang berisikan
informasi undangan dari Cordofa kepada LDK Al Iqtishod untuk mengikuti program
Cordofa Leadership Camp (CLC) yang akan di adakan mulai dari tanggal 1 sampai
dengan 5 Februari 2016 bertempat di daerah Suku Baduy, Banten.
Dengan
penuh semangat ku unduh semua lembaran file yang dilampirkan dan membacanya
satu per satu. Aku cukup terkejut saat mengetahui pendaftaran akan ditutup di
hari yang sama dengan hari kudapatkan informasi ini. Maka aku pun bergegas
menyebarkan informasi ini ke teman-teman LDK dan menanyakan kesediaan mereka
untuk ikut serta dalam program tersebut. Alhamdulillah, teman-teman meresponnya
dengan cepat meski sedang menikmati hari libur dan mendapatkan empat nama yang
menyatakan siap untuk turut serta. Selain diriku, tiga di antaranya bernama
Annisa Zahratan Najwa, Fuji Maulida Kota Ien dan Fami al Hadi. Setelah itu aku
segera mendaftarkan diri beserta tiga nama lainnya dan menunggu apa yang Allah
akan tentukan selanjutnya.
Matahari
mulai mencondongkan dirinya ke ufuk barat. Semilir angin masuk melalui
celah-celah jendela, menghelai lembut lembaran rambut yang basah. Segar.
Beberapa hewan malam mulai menampakkan dirinya dan berpadu suara menghasilkan
lantunan melodi yang syahdu. Waktu menunjukan hanya tinggal 10 menit sebelum
memasuki waktu maghrib. Usai membersihkan diri dan bersuci, ku raih handphone
nokia jadulku yang sangat bersejarah dan memeriksa kotak sms. Nihil, tidak ada
balasan sms yang masuk dari Cordofa. Sepertinya kuota peserta sudah terpenuhi
dan Allah lebih meridhoi diriku dan teman-teman untuk mengikuti aktifitas yang
lain, hiburku pada diri sendiri.
Selepas
sholat Maghrib, terdengar nada dering tanda sms masuk dari hp nokiaku. Aku
tidak merasa bahwa itu adalah sms balasan dari Cordofa, karena sebelumnya aku
sudah berpikir bahwa kami tidak bisa mengikuti program itu meskipun masih ada
sedikit pengharapan dalam hati. Allah selalu punya cara untuk membuat hamba-Nya
merasa senang sampai nyengir-nyengir kuda. Alhamdulillah ternyata itu adalah
sms dari Cordofa yang menyatakan bahwa kami sudah terdaftar dan meminta kami
untuk mengikuti technical meeting di kantor Cordofa yang bertempat di Ciputat,
Tanggerang keesokan harinya.
Pada
tanggal 25 Januari 2016, hanya aku dan Annisa yang dapat menghadiri technical
meeting. Saat itu Fuji sedang dalam kondisi tubuh yang tidak sehat, sedangkan
Fahmi sudah memiliki janji lain di waktu yang sama. Technical Meeting dimulai
pukul 13.00 WIB maka aku dan Annisa sepakat untuk berangkat di jam 11.00 WIB
dari Kota Bekasi. Alhamdulillah kami tiba di lokasi lebih kurang pukul 14.00
WIB. Techmeet di akhiri dengan foto bersama usai menunaikan sholat Ashar.
Sepulang dari sana, kami segera menyampaikan kepada Fuji dan Fahmi terkait
hal-hal yang harus dipersiapkan selama camp.
Hari
pun berlalu, berbagai persiapan telah kami lakukan, dari peralatan, kesehatan
sampai teknis keberangkatan menuju stasiun Pondok Ranji yang menjadi meeting
point kami serta teman-teman dari 12 LDK se-Jabodetabek dan Banten. Hidup tidak
akan asik jika tidak ada masalah. Karena dengan adanya masalah kita tahu bahwa
kita hidup. H-3 dari waktu keberangkatan, Fahmi memutuskan untuk membatalkan
dirinya mengikuti program CLC. Mendengar kabar tersebut, aku langsung menghubungi
pihak Cordofa dan menyampaikan kabar ini. Awalnya mereka kecewa dengan kami
karena tiba-tiba membatalkan diri, namun Alhamdulillah setelah diberi
penjelasan alasan Fahmi mengundurkan diri, mereka pun memaklumi dan mencoba
mencari seorang pengganti dari LDK lain.
Tidak
mau mengulangi kejadian yang sama, aku langsung menghubungi Annisa dan Fuji via
chat. Menanyakan kembali kesanggupan mereka untuk meneruskan mengikuti CLC dan
mengingat Fuji yang sedang tidak sehat, aku juga memastikan kondisi kesehatan mereka
berdua.
Masalah
lain datang dari teknis keberangkatan. Semula kami berencana untuk pergi menuju
stasiun Pondok Ranji menggunakan motor, akan tetapi Allah berkehendak bahwa
Annisa maupun Fuji tidak bisa membawa motor mereka. Karena sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan dan sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
Begitulah yang tertulis dalam surat Al Insyirah ayat 5-6. Dan dengan Asma Allah
yang Maha Berkuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan Allah-lah yang Maha
Memudahkan, Alhamdulillah Allah turunkan rahmat-Nya dengan menghadirkan teman
kami yang bersedia mengantarkan kami menuju stasiun Pondok Ranji menggunakan
mobil.
Inilah
Hidup dalam Dakwah
Sebelum
keberangkatan menuju suku Baduy, aku memang sudah mempersiapkan dan meyakinkan
diri bahwa di sana aku akan hidup di bawah kata biasa. Setibanya di sana,
peserta di pecah menjadi 10 kelompok yang terdiri dari 5 kelompok ikhwan dan 5
kelompok akhwat. Tidak ada waktu untuk istirahat. Itulah yang ditanamkan pada
kami oleh para panitia, meskipun hal ini disamarkan dengan menggunakan
penggalan dari ayat ke 16 surat As Sajdah, “…Lambung mereka jauh dari tempat
tidur…”. Maka usai pemecahan kelompok, masih dalam kondisi lelah karena
menempuh lebih dari dua jam perjalanan dari stasiun Rangkasbitung menuju kampung
Baduy luar, kami mendirikan tenda pleton yang dapat menampung lebih dari 70
orang beserta barang bawaan hanya dengan waktu 15 menit.
Hari
pertama, aku dan kelompokku mendapat tugas memasak untuk hari kedua dan jaga
malam di malam pertama kami. Kegiatan di hari pertama berakhir pada jam 22.00
WIB. Selain kami, semua peserta di arahkan untuk tidur dan akan dibangunkan
pada pukul 03.30 WIB. Dengan tim yang terdiri dari delapan orang, kami membagi
tugas dengan memecah kembali menjadi dua kelompok yang berisikan empat orang di
setiap kelompok, kelompok jaga malam dan kelompok masak. Aku dan teman-teman
yang masuk ke dalam kelompok jaga malam bergegas keluar tenda untuk mulai
berkeliling, sedangkan kelompok masak beristirahat agar dapat mulai memasak
pukul 02.00 WIB.
Malam
itu, angin terasa lebih kencang dari sebelumnya. Menyebabkan gesekan antara
dedaunan pohon yang cukup untuk memecah kesunyian. Sambil berkeliling menyusuri
medan perkemahan yang berbatu dan berbukit, kami menghangatkan dinginnya malam
dengan berbagi cerita. Kami cukup terlena dengan cerita masing-masing, hingga
kami hampir tidak menyadari ada dua anjing yang memantau kami. Gelapnya malam
sukses menyamarkan keberadaan anjing-anjing tersebut yang memiliki warna kulit
gelap. Merasa di pandangi, kami membalas dengan menghampiri kedua anjing itu.
Alhamdulillah kedua anjing itu mundur dan beranjak pergi. Akan tetapi,
kepergian anjing tersebut malah menambah masalah. Ada satu lagi anjing yang
mencoba memasuki tenda yang menjadi tempat beristirahat akhwat. Bergegas kami
memecah diri menjadi dua kelompok kecil. Aku dan tyas menjadi kelompok yang
berjaga di daerah tenda akhwat.
Tiba
di depan tenda akhwat, alhamdulillah anjing tersebut sudah pergi dan kami pun
menggelar matras untuk membuat tempat duduk di sana. Waktu menunjukan pukul
00.00 WIB. Rupanya seluruh panitia masih belum beristirahat. Tempat
peristirahatan panitia yang dekat dengan tenda akhwat masih menyala terang.
Para panitia masih sibuk mengevaluasi jalannya agenda di hari pertama. Kami
mendengarkan dengan seksama perbincangan mereka, menjadikan kami penguping
dadakan. Cukup panas diskusi mereka. Namun, setiap perbedaan pendapat yang
mereka lontarkan selalu mengarah ke dalam satu hal yang sama, setiap pendakwah
harus bisa merasakan kondisi terburuk dari setiap target dakwah mereka, bahkan
jika harus benar-benar menguras tenaga dan pikiran mereka. Ya, mereka berusaha
membentuk kami menjadi pribadi dai yang militan. Panitia berdiskusi sampai jam
02.00 WIB. Dan sepertinya doa serta harapan mereka terkabul. Karena dalam
prosesnya, peserta camp memakan makanan dengan kualitas di bawah kata biasa,
meskipun makanan itu adalah buatan peserta sendiri. Fisik yang lelah dengan
latihan fisik, menyusuri medan perkemahan yang naik turun setiap saat, jauhnya
jarak menuju tempat MCK, hanya dapat mandi sekali dalam lima hari, kajian dan
diskusi yang rutin sepanjang hari, ibadah sunnah menjadi seperti wajib karena
jika ditinggal akan mendapat hukuman binding atau skotjam 30 kali per ibadah sunnah
yang ditinggalkan dan lain sebagainya.
Mengenal
Cinta, Kepedulian dan Kebersamaan
Dalam
program camp ini, kami mulai memahami bahwa kami menyadari kami belum mengerti
apa itu cinta, peduli dan bersama. Kami merasa malu pada tafsiran kami sebelumnya
terhadap ketiga kata itu, di saat kami benar-benar belum merasakan dan
melihatnya secara langsung. Selama camp berlangsung, dengan ikatan lelah dan
peluh kami mendapati bahwa kami tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kami
juga tidak bisa hidup jika tidak bisa membantu orang lain. Karena kami mulai
merasa bahwa setiap diri kami sudah terlebur dalam satu jiwa, satu semangat.
Di
hari pertama, tepatnya di malam aku bertugas melakukan jaga malam. Bumi
perkemahan kami diguyur hujan yang lebat. Sejenak kami dilanda bingung
bagaimana mengatasi hal ini. Dengan menggunakan HT kami menghubungi teman kami
yang berjaga di sekitar tenda ikhwan. Di sana mengabarkan bahwa tenda ikhwan
sudah kebanjiran dan semua peserta ikhwan sudah terbangun. Aku dan tyas
teringat bahwa kami belum terpikirkan untuk membuat parit di tenda ikhwan.
Saatku lihat di tenda akhwat, rupanya mereka juga begitu. Menyadari panitia
masih asik berdiskusi, kami tidak ingin mengganggu mereka. Akhirnya kami pergi
ke sisi belakang tenda akhwat dan mengambil kapak, golok dan sekop kecil untuk
membuat parit. Kami berusaha semaksimal mungkin untuk membuat parit dengan
cepat yang mengitari tenda akhwat sebelum air memasuki tenda mereka. Cukup
sulit untuk membuatnya, karena ada banyak akar pohon yang ada di bawah tanah
sekitar tenda akhwat. Namun, aku dan tyas sepakat untuk tetap berusaha
menyelesaikannya. Kami sudah tidak lagi melihat apakah mereka ikhwan atau
akhwat. Yang kami tau, mereka yang ada di dalam tenda akhwat adalah keluarga
kami. Alhamdulillah Allah menurunkan bantuan tenaga berupa dua orang yang
berasal dari suku baduy dalam untuk membantu kami membuat parit. Meskipun
awalnya kedua orang baduy dalam itu bingung kenapa kita membuat parit. Dan satu
hal yang menjadikan kami juga bingung adalah kenapa dengan kondisi hujan yang
lebat, angin yang menderu kencang serta suara kami membuat parit, keluarga kami
yang akhwat ini tidak terbangunkan ? sungguh hebat.
Mengenal
Kehidupan Suku Baduy
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang
agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan
masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena
adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut.
Di
hari ketiga kami, atas usulan para peserta, panitia mengarahkan kami untuk bertandang
ke rumah-rumah warga suku baduy luar. Kami dianjurkan untuk beramah-tamah
dengan mereka, berbagi salam dan saling bertanya tentang kondisi masing-masing.
Kami mendapatkan kesempatan untuk mendatangi kediaman bapak Jahardi. Beliau
termasuk warga yang mengenal dekat kepala suku atau pu’un suku baduy dalam.
Darinya kami mengetahui bahwa suku baduy dalam mengenal Islam dan beberapa
mengaku beragama Islam, hanya saja mereka tidak melakukan sholat. Kami juga
mengetahui bahwa suku baduy dalam sangat menjaga alam, dibuktikan dengan area
tempat tinggal yang tidak ada sampah berserakan, bangunan rumah yang terbuat
dari bamboo dengan atau serabut kayu. Suku baduy dalam cenderung pendiam, tapi
jika kita mencoba bertegur sapa dengan mereka, orang-orang suku baduy dalam
akan menjadi sangat ramah dan murah senyum. Dalam kesehariannya, suku baduy
dalam tidak pernah menggunakan alas kaki, belakangan kami mengetahui bahwa itu
dilakukan sebagai salah satu bentuk penyatuan mereka dengan alam. Suku baduy
terbagi menjadi dua, yakni suku baduy dalam dan luar. Suku baduy dalam adalah
orang-orang yang masih memegang prinsip leluhur sedangkan suku baduy luar sudah
mulai menerima pola hidup dunia luar. Seperti adanya listrik, alat elektronik,
rumah yang terbuat dari bata dan lain-lain. Suku baduy dalam akan menjadi suku
baduy luar dalam arti dikeluarkan dapat dengan cara melanggar aturan leluhur
mereka atau menikah dengan suku baduy luar. Suku baduy dalam lebih cenderung
menggunakan lilin untuk penerangan malam. Ciri yang menjadi khas untuk
membedakan kedua suku ini adalah suku baduy dalam hanya mereka pakaian yang
berwarna hitam dan putih. Dan pada kepalanya diikat oleh kain berwarna putih.
Sedangkan suku baduy luar sudah mengenakan celana jins, pakaian berbagai macam
warna dan dikepalanya diikat kain becorak batik.
Lihatlah
pada apa yang diucapkan, bukan lihat pada siapa yang mengucapkan. Lima hari
hidup berdampingan dengan suku baduy, membuat kami menyadari satu hal yaitu
ketaatan suku baduy pada ajaran nenek moyang yang mereka percaya. “Pakaian
hitam dan putih itu amanah dari nenek moyang , itu wajib. Kami harus taat pada
aturan, begitu juga dengan rumah dan perabotan juga harus sama.” ujarnya dengan
bahasa dialek Sunda-Banten.
Bagi
masyarakat baduy dalam yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, amanah leluhur
adalah segala-galanya. Dalam beberapa aturannya, setiap rumah hanya
diperbolehkan menghadap utara dan selatan, tidak ada perbedaan bentuk rumah
maupun perabotan rumah yang digunakan setiap keluarga baduy dalam. Sulit
membedakan strata sosial ataupun tingkat kekayaan warga baduy dalam. Karena
kaya atau miskinnya dilihat dari jumlah lumbung padi yang diletakkan cukup jauh
dari wilayah perkampungan. Menurut bapak Jahardi, padi yang di simpan dalam
lumbung tersebut dapat bertahan hingga ratusan tahun. Dan pada saat kawalu,
suku baduy dalam membuat sesembahan dari padi yang mereka simpan.
Saat
tumbuh dewasa, anak-anak baduy yang telah berusia 18-20 tahun akan dinikahkan.
Mereka dijodohkan oleh orang tua mereka dengan sesame wagra baduy dalam untuk
menghindari sanksi diasingkan secara adat.
“Yang
menikahkan itu pu’un, proses sejak lamaran sampai pesta pernikahan bisa sampai
satu tahun. Setelah menikah mereka tidak boleh bercerai. Kalau bercerai mereka
bisa diasingkan.” ujarnya.
Lalu,
bagaimana dengan sikap kami terhadap ajaran dan aturan terhadap agama Islam
yang kami anut dan percayai ?
Long
March
Hari
kelima adalah hari terakhir yang sangat kami damba-dambakan. Walau sesungguhnya
kami sudah merasa nyaman tinggal dengan kondisi alam dan pola hidup keras
seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini adalah hari kami akan menempuh
perjalanan pulang. Perjalanan ini merupakan lanjutan dari perjalanan yang sudah
kami lakukan di sore hari keempat. Hanya saja kami menginap terlebih dahulu di
rumah-rumah suku baduy luar. Dan seperti yang pernah aku beritahukan, mereka
sangat ramah, padahal kami belum pernah saling mengenal sebelumnya. Kedua orang
suami istri muda yang rumahnya kami tempati contohnya, mereka berdua tidak mau
makan sebelum kami semua mulai makan. Sehingga membuat kami saling
dorong-dorongan siapa yang akan memulai terlebih dahulu.
Perjalanan
di hari kelima dilanjutkan pada pukul 08.00 WIB. Total jarak tempuh perjalanan
hari ini jika ditarik garis lurus adalah 3 jam. Long march ini adalah inti dari
semua pelatihan dan pelajaran yang kami dapati selama program camp. Dari
perjalanan ini, akan diketahui bagaimana jiwa kepemimpinan dalam diri kami.
Bagaimana mengeluarkan solusi dari setiap masalah yang kami temui selama
perjalanan. Bagaimana memposisikan diri untuk kepentingan sendiri dengan
kelompok dan masih banyak lagi. Karena bagaimanapun jalur yang kami lalui lebih
banyak tebing dan jurang. Sehingga menuntut untuk saling menjaga satu dengan
yang lain. Sebagaimana para pendaki gunung, saat melakukan pendakian. Yang
seharusnya dilakukan adalah bukan siapa yang lebih cepat sampai di garis akhir.
Akan tetapi bagaimana caranya agar semua bisa sampai di garis akhir bersama-sama.
Kami pun menyelaraskan kecepatan laju kami dengan yang terlemah di antara kami
dari sisi stamina.
Demikianlah
perjalananku selama melatih diri mempersiapkan bekal dalam berdakwah yang penuh
suka dan tangis. Selain ilmu yang kami dapat selama camp, sejumlah hal berhasil
kami raih. Di antaranya adalah hubungan keluarga yang baik dengan masyarakat
suku baduy dalam dan luar, keluarga baru dari 12 LDK se-Jabodetak dan Banten
serta keluarga Cordofa. Kami juga mengikat kesepakatan untuk terus bersaudara
dan menjadi mitra satu sama lain.
Hingga
tibalah saatnya meninggalkan Banten untuk pulang pada tanggal 5 Februari 2016.
Bertemu kembali dengan keluarga tercinta, melepas rindu pada keluarga dan
makanan ibu setelah 5 hari merantau ke kampong orang. Sebuah pengalaman sangat
berharga dan menjadi bekal untuk tugas dakwah selanjutnya, Insya Allah.
Artworker: LDK Al-Iqtishod
LDK Al-Iqtishod adalah Lembaga yang menaungi seluruh kegiatan dakwah islamiyah untuk menegakkan Tauhid dan Sunnah, serta mengajak kepada Amar Maruf Nahi Munkar di lingkup civitas Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia khususnya dan di Bumi Allah umumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Share is caring, Silahkan berbagi apa saja di sini.