--------------
Fatimah Al Fihri: Aku Bukan Membangun Masjid, Ini Jantung Peradaban Islam
Fatimah Al Fihri yakin hari Minggu dia akan bekerja juga. Sejak
pukul 02.00 dini hari dia sudah bangun. Mendirikan qiyamul lail, tadarus Al
Quran dan mengkaji ilmu pengetahuan hingga tiba waktu subuh. Di rumahnya di
distrik Barat kota Fes, Maroko, dia sudah mengenakan stelan pakaian yang
menutupi seluruh tubuh lengkap dengan jilbab lalu berjalan menuju dapur untuk
sarapan. Adiknya, Maryam, sudah menyiapkan daging panggang dan telur untuk
dimakan bersama. Fatimah sedang makan ketika ada seseorang yang mengetuk pintu
rumahnya dan mengucapkan salam. Fatimah kenal suara itu dan lekas membukakan
pintu. Dia adalah Aisyah, seorang teman yang membantunya mengelola keuangan
pendirian masjid di Fes. “Fatimah, saya punya kabar baik untukmu. Baru saja ada
seorang wanita tua yang mewakafkan sebagian besar harta miliknya untuk
pembangunan masjid.” Jelas Aisyah membuka percakapan. “Ini sungguh bisa
membantu sekitar setengah total pembangunan.” Ya, kemarin Fatimah sudah
mendengar dentingan kabar bahwa ada seseorang yang akan mewakafkan hartanya
untuk membantu pembangunan masjid. Dan Fatimah bersyukur bahwa itu menjadi
sebuah kenyataan. Kemudian dia menyatakan rasa terima kasihnya kepada Aisyah,
menyudahi percakapan, dan meninggalkan rumahnya, berangkat, maka hari Minggu
itu dia lewatkan dengan mengawasi secara langsung proses pembangunan masjid Al
Qarawiyyin, tempat dia akan memenuhi hasrat terpendamnya.
Fatimah, lahir pada tahun 800 M. Dia seorang wanita yang berasal
dari keluarga bangsawan. Walau begitu, banyaknya harta bukan menjadi hal yang
menarik baginya. Bersama dengan adiknya, dia tumbuh dengan sangat mencintai
ilmu pengetahuan, terutama dibidang agama Islam dan arsitektur. Ayahnya, Mohammad
bin Abdullah Al Fihri adalah seorang pedagang sukses dari tanah Tunisia yang
kemudian hijrah ke kota Fes pada masa pemerintahan raja Idris II. Fatimah
menyadari betapa pentingnya memiliki pusat-pusat studi keagamaan untuk menjaga
pengetahuan Islam dan mengembangkan masyarakat intelektual. Demi mewujudkannya,
ia rela menyumbangkan apapun, termasuk seluruh harta kekayaan warisannya. Maka
sepeninggal ayahanda tercinta, Fatimah mulai mengontruksikan impiannya melalui
pembangunan masjid Al Qarawiyyin.
Tahun 859 M, pukul 09.00. Fatimah berjalan mendekat lokasi
pembangunan. Masjid itu dibangun dengan struktur bangunan mengikuti bentuk
masjid tradisional bangsa Arab pada umumnya saat itu. Terbagi atas dua bagian,
yaitu mughatta (aula shalat beratap) dan shan (halaman terbuka). Dalam
pembangunannya, Fatimah mengawasi secara pribadi selama prosesnya hingga
selesai yang membutuhkan waktu dua tahun lamanya. Dia juga yang mendesain
arsitektur masjid tersebut. Selama dua tahun itu pula ia sengaja berpuasa setiap harinya. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan pun Fatimah
enggan mengambil hak orang lain. Sedikit atau banyaknya. Ia memerintahkan kepada
pekerjanya untuk menggali sedalam mungkin untuk mendapatkan sumber daya pasir
yang melimpah. Dalam rancangannya, bagian mughatta merupakan bangunan hypostyle
yang terbentuk dari empat shaf aisle (barisan tiang yang membentuk sebuah lorong) sepanjang 30 meter, sedangkan shan masjid berupa halaman terbuka yang dikelilingi oleh riwaq atau
portico (lorong berpilar dan beratap) dan sebuah menara.
Hari itu, prosesi pembangunan berjalan lancar. Fatimah puas dengan
perkembangan yang ada. Pondasi sudah menghampar, memancang kokoh tiang-tiang
berdiri tegak. Beranjak pulang, aisyah yang sejak tadi menemaninya ikut
berkeliling, mengawasi, berjalan mengiringi. Sepanjang perjalan, mereka banyak
berbincang tentang tekad kuat yang Fatimah miliki untuk menyelesaikan pembangunan
masjid itu. “Sungguh, sebenarnya aku tidak yakin apa aku memang pantas untuk
menjalankan impianku ini, berpikir untuk pantas memimpikannya pun tidak.” Ada
desahan nafas yang terlihat menyelimuti kalimatnya. “Dengarkan aku Aisyah. Atas
apapun yang hendak kita perjuangkan, kita hanya harus melakukannya dengan cara
terbaik yang kita miliki. Aku pun yakin, bahwa hal-hal terbaik hanya untuk yang
terbaik. Dan yang patut kau pahami adalah aku bukan membangun masjid, ini jantung peradaban Islam.”
Benar saja. Kelak, masjid itu tidak hanya digunakan sebagai tempat
peribadatan saja, namun juga sebagai tempat untuk membahas perkembangan
politik, yang lambat laun berkembang menjadi pembahasan diberbagai bidang
seperti pengkajian Al Quran, fiqih, tata bahasa, logika, kedokteran, matematika,
astronomi, kimia, sejarah, geografi, seni rupa, hingga musik. Beragam topik yang disajikan
dengan berkualitas oleh para ilmuwan Muslim pendatang dan alumni-alumninya akhirnya
mampu mencuri perhatian para pelajar dari berbagai belahan dunia, termasuk di antaranya Ibnu Khaldun, Ibnu Rashid al Sabti, Ibnu al Arabi serta Ibnu al Khatib dan
bertransformasi menjadi universitas al Qarawiyyin. Yang diakui sebagai sebuah
universitas tertua di dunia.
--------------
Oleh: MAA
Artworker: LDK Al-Iqtishod
LDK Al-Iqtishod adalah Lembaga yang menaungi seluruh kegiatan dakwah islamiyah untuk menegakkan Tauhid dan Sunnah, serta mengajak kepada Amar Maruf Nahi Munkar di lingkup civitas Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia khususnya dan di Bumi Allah umumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Share is caring, Silahkan berbagi apa saja di sini.