Jejak
Cerita
ini bermula di suatu sore di permulaan bulan April. Tepatnya tanggal 1 April
2016, bertepatan dengan tanggal 23 Jumadil Akhir 1437 H. Matahari tengah
melepaskan sisa-sisa sinarnya menembus kaki-kaki langit, menciptakan garis
horizon berwarna oranye yang menyala terang. Indah. Ketika sore itu, sebuah
mobil tronton menderu masuk ke pelataran tempat parkir masjid Andalusia, Sentul
City.
Tidak
banyak yang mengingatnya, sekitar empat belas abad yang lalu. Masa itu
merupakan salah satu masa paling bersejarah bagi umat Islam. Seorang pemuda
Arab yang dikenal dengan nama Muhammad, mendapatkan wahyu dari Allah untuk
pertama kalinya saat ia sedang bermukim di gua Hira.
Diturunkannya
wahyu Allah kepada Muhammad, yang sekaligus mengangkatnya sebagai Nabi Allah
adalah untuk memberikan pedoman kepada manusia selama perjalanannya menjalani
hidup di dunia. Hanya saja, kerasnya kepribadian orang-orang Arab dan asingnya
wahyu Allah yang bernama Al Quran tersebut di telinga umat manusia saat itu.
Begitupun dengan keterbatasan Muhammad yang tidak pandai membaca dan menulis,
menjadi dinding kokoh yang amat menghalangi langkahnya untuk menyampaikan,
menyebarkan serta mengajarkan Al Quran yang telah ia dapatkan. Namun itulah
yang mereka namakan sebagai bibit taman Surga.
Akan
tetapi, kisah ini bukan tentang peristiwa besar itu. Apalagi tentang sepak
terjang Nabi Muhammad dalam menebarkan benih-benih kabar gembira dan peringatan
dari Allah ke khalayak manusia. Bukan. Kisah ini lebih sederhana, tapi tetap
bersejarah, setidaknya bagi semua orang yang terlibat di dalamnya.
Ayas
yakin dimulai dari hari ini sampai dua hari ke depan dia akan melakukan sebuah
perjalanan hidup yang tidak biasa. Sebelum lantunan adzan Subuh berkumandang,
dia sudah bangun dan bersiap. Padahal hawa dingin masih terasa menusuk tulang.
Pukul
16.30 sore. Angin berhembus kencang. Membawa aroma hujan khas bau pohon Pinus
menyeruak masuk ke dalam rongga hidung. Perlahan pesona langit memudar
tertutupi gerumulan awan mendung yang datang belakangan. Ayas melangkahkan
kakinya menyusuri 5 buah anak tangga memasuki lobi masjid Andalusia setelah dia
memakirkan motornya tepat di bagian Utara masjid itu. Hanya berjarak 5 meter dari
anak tangga pertama.
Ayas
mengenakan stelan jins berwarna biru pada celana dan jaketnya. Dia juga
mengenakan topi hitam kesayangannya. Sebuah topi yang sepertinya tidak bisa dia
tinggalkan sama sekali. Ayas berjalan menuju meja yang terletak di depan barisan
peserta perempuan, berniat melakukan pemeriksaan terakhir pada kameranya saat
sudut matanya menangkap relasi kerjanya, April, sedang berbicara dengan saudara
laki-lakinya yang tidak dia ketahui namanya. April mengenakan jaket tebal berwarna
pink sebagai warna dasar dan warna hitam di kedua sisinya. Sarung tangan hangat
terlihat di sarungkan di sisi kanan kantong jaketnya.
Sepertinya
dia juga sudah menyiapkan dirinya dengan baik. Ayas bergumam
sambil mengeluarkan kamera Canon 1100 D yang dia pinjam dari temannya. Kamera
itu berwarna hitam legam. Ayas memastikan lensanya bersih dan fitur-fitur
kameranya berfungsi dengan baik. Sebagai tahap pemeriksaan akhir. Ayas menyetel
kameranya pada posisi manual.
Satu-dua
peserta mulai memasukan perlengkapan mereka ke dalam mobil tronton tersebut,
sesaat setelah mendapatkan pengarahan dari panitia. Mobil itu berwarna hijau
lumut. Warna yang cukup baik untuk berkamuflase saat dibawa bertugas ke hutan.
Tanpa merasa terbebani, mereka memasukan semua perlengkapan ke dalam dibantu
oleh tentara yang bertugas menjadi supir mobil. Sesekali terdengar suara tawa
yang terlempar saat peserta laki-laki mengangkat perlengkapan pribadi dan
kelompok dari lobi masjid menuju mobil. Menertawakan
mereka yang basah kuyup. Padahal diri mereka sendiri juga kebasahan.
Hujan
menerjang semakin deras. Genangan air mulai merendam permukaan tanah bebatuan,
menghasilkan suara cipratan yang bertalu-talu saat diinjak oleh peserta
perempuan yang satu per satu masuk ke dalam bagian belakang mobil. Ayas sudah
masuk ke dalam mobil bagian depan, tepat di samping tempat kemudi. Dia sedang
berusaha menutup jendela yang terbuka agar tidak ada air hujan yang ikut masuk
ke dalam ketika ada telpon yang memang dia tunggu. Telepon dari Hanif Aulia
Rahman, dialah penanggung jawab keberangkatan peserta menuju bumi perkemahan.
Hanif memberikan intruksi untuk segera memberangkatkan peserta akhwat setelah
semuanya masuk ke dalam. Tanpa berpikir panjang, Ayas menutup teleponnya bersegera
turun dan memastikan. Lantas kembali setelah semuanya masuk dan menyuruh supir
untuk langsung tancap gas.
Untuk
menuju bumi perkemahan Citamiang yang berada di daerah gunung Kencana, Puncak.
Bang Imron mengarahkan mobilnya melewati jalur tol Sukabumi-Puncak. Imron
adalah nama dari supir mobil tersebut. Dia sudah dua tahun berada dalam
kesatuan tentara Brimob.
Selama
perjalanan, Ayas lebih banyak mendengarkan kelakar bang Imron. Bang Imron
memiliki selera humor yang mengagumkan. Tapi juga mengkhawatirkan. Karena
selama berkelakar, bang Imron lebih fokus pada ceritanya daripada tugasnya
sebagai supir. Ayas jadi membayangkan bagaimana jadinya kalau bang Imron juga
seperti ini saat membawa pasukan dalam misi.
Sambil
mendengarkan bang Imron dan sesekali tersenyum simpul. Ayas menatap keluar
jendela. Memandangi kendaraan dan bangunan yang basah diguyur hujan. Sesekali
juga menghirup udara segar untuk membersihkan paru-parunya. Sementara itu,
pikirannya sudah melayang-layang masuk ke dalam jiwanya. Antara yakin dan tidak
dengan keputusannya pada acara ini. Tapi, mau bagaimana pun setiap manusia akan
selalu melakukan perjalanan. Walau tidak yakin kemana perjalanan ini akan
bermuara, pun jalan seperti apa yang akan dilalui. Maka yakinlah pada setiap
perjalanan yang kita lakukan, mantapkan hati dan tegarlah. Karena selama
perjalanan kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada tujuan
perjalanan yang kita inginkan. Bahkan sesuatu itu belum pernah kita harapkan
kedatangannya.
Akhirnya,
perjalanan pun dimulai.
---
Hari
kedua Leadership Challenge. Seperti yang sudah direncanakan, pagi ini para
peserta memasak sendiri menu sarapan mereka. Mereka akan memasak orek tempe dan
telur. Satu-dua terlihat sibuk mencoba memasang gas tabung kecil,
menyambungkannya ke kompor kecil berbentuk persegi. Yang lain mengambil bahan
makanan yang di simpan di ruangan panitia. Memotongnya menjadi
potongan-potongan kecil, lantas memasukannya ke dalam nesting dan meletakannya
di atas kompor setelah api menyala dan minyak dipanaskan. Setiap kelompok
menyelesaikan sarapannya dalam waktu empat puluh lima menit.
Semalam,
waktu Ayas dan rombongan peserta perempuan sampai di bumi perkemahan, tempat itu
masih dalam kondisi gelap. Tidak ada satu pun alat penerang yang menyala,
samar-samar hanya terkena pancaran sinar rembulan. Di sisi kanan area
perkemahan berjajar rapih rumah kecil yang disewakan untuk menginap. Ada tujuh
rumah dan semuanya kosong. Di bagian tengah ada aula terbuka yang tiba-tiba
saja menyala. Selintas tidak ada orang yang berada di dekat sana. Setelah
menunggu beberapa saat, bapak penjaga area perkemahan terlihat berjalan
menghampiri dari arah sana dengan mengenakan stelan jas hujan berwarna hitam.
Demi
menghindari hawa dingin yang semakin menjadi, Ayas segera mengarahkan mereka
menuju aula. Berharap mendapat kehangatan dengan berada di bawah sinar lampu
yang tidak begitu terang. Sisa hari dihabiskan dengan pendirian tenda untuk
seluruh peserta oleh peserta laki-laki setelah mereka tiba di bumi perkemahan
dengan menggunakan motor. Kemudian memeriksa peralatan dan merapihkannya agar
tidak tercerai. Malam itu rintik hujan masih saja mengguyur, keputusan pun
diambil. Peserta laki-laki tidur di dalam tenda atau di tengah aula sedangkan
peserta perempuan tidur di dalam mushola kecil yang berdiri kokoh di bibir
sungai yang sedang mengalir deras.
Kehangatan
sinar mentari membungkus hutan. Burung-burung sudah banyak beterbangan dan
berkicau ke sana kemari mencari penghidupan. Debit aliran sungai juga sudah tidak
sebesar semalam. Hujan itu menyisakan kesegaran yang tidak akan pernah ditemui
di perkotaan.
Sepuluh
menit sudah berlalu sejak semuanya selesai sarapan. Pagi ini upacara pembukaan
tengah dilangsungkan. Petugas pembawa acara dengan suara lantang membacakan
susunan acara. Beberapa ayat suci Al Quran dibacakan sebagai pembuka. Semuanya
khusyuk mendengarkan. Usai mendengarkan sepatah-dua patah nasihat dan kata-kata
penyemangat dari ketua LDK Al Iqtishod. Upacara ditutup dan Leadership
Challenge resmi dimulai.
Ayas,
21 tahun. Dia orang yang ramping berkumis, lahir di Jakarta dan sudah menjadi
pengguna kacamata sejak duduk di bangku empat sekolah dasar. Saat ini dia
sedang tergabung dalam barisan kepengurusan LDK Al Iqtishod di kampusnya, STEI
Tazkia. Dia hanya seorang wakil ketua divisi Syiar di sana. Bukan seseorang
yang istimewa. Meskipun dia menganggap semua yang ada di sekitarnya sangat
istimewa.
Saat
itu pukul 10.00 pagi. Ayas berjalan mendekat ke arah aula. Di sana para peserta
sedang mendengarkan materi tentang ‘Qiyadah wal Jundiyah’ dari bang Maul,
begitu dia akrab disapa. Ayas keluar dari dalam mushola yang terbuat dari bahan
dasar kayu dengan dua jendela besar terbuka di kedua sisi. Perlahan dia berjalan
menyusuri tanah berair bekas guyuran hujan. Melewati pepohonan yang berdiri
tinggi menjulang. Tertanam tegak secara acak dalam jumlah yang banyak. Dia
membawa serta kameranya. Hendak memfoto kegiatan yang sedang berlangsung.
Sekaligus mengabadikan momen-momen berharga aktivitas hutan di pagi hari.
Setelah menaiki jalan berbatu dan sedikit menyibakan dahan pohon yang menutupi
jalan. Ayas tiba di aula.
Ayas
sedikit banyak mendengarkan paparan bang Maul sambil mengitari aula. Memburu
angel yang tepat. Apa yang disampaikannya mengingatkan Ayas pada sebuah kisah
perumpamaan. Mengambil posisi duduk di belakang peserta dan bersandar pada
tiang. Dia menatap ke arah aliran sungai. Kembali melayangkan pikirannya. Serta
terus menenangkan hatinya yang entah mengapa terasa gelisah saat mencoba
mengingat kisah itu.
Dikisahkan
seorang ayah sedang melakukan sebuah perjalanan bersama dengan dua generasi
penerusnya. Satu anak laki-laki dan yang satunya anak perempuan. Hanya bertiga,
tidak ada orang lain yang berada di sekitar mereka. Istrinya sudah meninggal
sejak dua tahun yang lalu. Dan dia sedang mempersiapkan dua anak kesayangannya
menjadi prajurit-prajurit Allah yang tangguh.
Berjalan
bersama di tepi sebuah gunung. Berniat melihat prosesi tenggelamnya matahari.
Meskipun ayah itu tau bahwa di sana rawan longsor, dia tetap bersikeras membawa
dirinya dan anak-anaknya ke sana. Hingga akhirnya nasib buruk pun menimpa
mereka. Di tengah perjalanan jalur tepi gunung yang mereka pijak tak kuasa
menahan beban mereka bertiga dan terjadilah longsor. Beruntung semuanya
terjatuh seketika. Akan tetapi hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka semua
terjatuh dan mati. Kondisinya saat itu adalah ayah tersebut tengah memegangi
kedua anaknya agar tidak jatuh ke jurang yang dalam. Si anak laki-laki dipegang
erat di tangan kanannya dan si anak perempuan di tangan kirinya. Satu jam
berlalu sudah. Si ayah mulai kelelahan
dan tak sanggup lagi berusaha untuk mengangkat kedua anaknya. Semakin lama si
ayah juga semakin ikut terseret beban kedua anaknya. Sambil terus memegang erat
anak-anaknya, si ayah mencoba memikirkan solusi lain. Nihil. Hanya satu solusi
yang mungkin bisa dilakukan. Tapi solusi ini membutuhkannya mengorbankan salah
satu anaknya. Yaitu, melepaskan anak laki-lakinya dan menyelamatkan yang
perempuan atau sebaliknya. Karena jika tidak, mereka bertiga malah akan
terjatuh ke dalam jurang. Dan tentunya membiarkan dirinya dan anak-anaknya
terjatuh ke dalam jurang bukan pilihan yang bijak.
Sampai
detik ini, Ayas masih belum yakin pilihan apa yang akan dia ambil jika itu
terjadi padanya. Memang benar itu hanyalah sebuah kisah. Tapi kisah itu
mengajarkan tentang ketenangan dan kebijakan yang harus diutamakan dalam
pengambilan keputusan. Dan bahwa selalu ada pengorbanan yang harus dibayar
untuk setiap perjuangan. Suka ataupun tidak.
Pukul
lima sore. Senja membungkus area perkemahan. Angin kencang kembali membawa
butiran air hujan, telak membasahi para peserta yang sedang menjalani outbond. Semuanya
bersemangat sekali dalam adu ketangguhan, ketangkasan dan kerjasama mereka.
Mencoba membuktikan pada yang lain bahwa merekalah yang terbaik. Sejauh ini
semua masih berjalan dalam kendali. Hanya saja, matahari kembali turun di
peraduannya tanpa bisa disaksikan dengan apik.
Malam
semakin larut. Para peserta sudah selesai berbenah diri, sholat Isya, menyantap
makan malam dan mendengarkan materi yang disampaikan oleh bang Fatih al Aziz
tentang ‘Muslim Negarawan’. Hujan masih saja setia menemani. Satu-dua peserta
terlihat mengigil kedinginan. Bahkan Ayas sendiri memakaikan kain sarungnya
dengan model ninja. Menutup utuh dari atas kepala sampai ke paha. Hanya
terlihat mata dan hidungnya saja di bagian wajah.
Waktu
menunjukan pukul sebelas malam. Kemudi acara diambil alih oleh komite disiplin
Leadership Challenge, bang Ammar Multazim. Sejenak aula terasa lengang. Tidak
ada yang berbicara. Hanya terdengar suara aliran sungai yang semakin menjadi
dan desiran angin berbalut bisikan hewan-hewan malam.
Ammar
berjalan di tengah-tengah peserta. Wajahnya mengkerut. Demi menunggu apa yang
ingin diucapkan bang Ammar, semua peserta memilih untuk tetap diam. Tidak
berani bertanya. Mereka tau, hanya ada satu jawaban pasti yang menjadi alasan
bang Ammar menampakkan raut wajah seperti itu. Mereka sudah melakukan suatu
kesalahan.
Dugaan
mereka benar. Bang Ammar menyinggu para peserta yang sudah melanggar
kesepakatan bersama dan tidak mau menghukum diri mereka sendiri dengan hukuman
yang telah ditetapkan. Berdasarkan laporan dari panitia yang lain. Sebagian
peserta ada yang sudah menyantap makan malam terlebih dahulu sebelum semua
peserta berkumpul untuk makan bersama. “Apa ini yang kalian maksud dengan ‘amal
jama’i !?” ucap bang Ammar dengan nada tegas dan keras. “Saat satu teman
melakukan kesalahan, kalian menutupinya. Begitupun dengan mendahulukan
kepentingan perut kalian masing-masing tanpa peduli apa yang perut teman kalian
rasakan !” dia menambahkan.
Hingga
pukul dua belas malam. Seluruh peserta melalui sisa hari dengan mendengarkan
beberapa potong nasihat dari bang Ammar, sebelum akhirnya pergi ke tenda
masing-masing dan tertidur.
Pemuda
berusia dua puluh satu tahun itu berjalan sendirian di jalan setapak yang
berbatu. Dia baru saja selesai makan malam saat para peserta kembali ke tenda
masing-masing dengan kepala tertunduk. Dalam perjalanannya menuju aula dia
sempat mendengar apa yang Ammar sampaikan dan mengerti maksudnya.
Ia
menghela napas perlahan. Butiran air hujan yang mengecil memerciki wajahnya.
Sejenak menatap hutan yang remang. Berbisik untuk kemudian kembali terdiam.
Pandanglah
aku wahai gelap malam. Lihatlah orang yang selalu lihai menasihati orang lain,
tapi tidak pernah bisa menasihati diri sendiri.
Pandanglah
aku wahai hutan luas. Lihatlah orang yang selalu punya kata bijak untuk orang
lain, tapi tidak pernah mendapati kata bijak untuk dirinya sendiri.
Ayas
tertunduk menatap lantai aula. Meringkuk perlahan. Terpejam.
---
Cahaya
matahari menyapa lembut tenda-tenda yang tertancap kuat. Tanggal 3 April 2016,
hari ke 3 perjalanan. Atau hari terakhir acara Leadership Challenge. Panitia
dan peserta tengah sibuk mempersiapkan diri dan perbekalan untuk melakukan
pendakian ke gunung Kencana. Bukan pendakian yang berat, karena tujuannya hanya
mencapai kaki gunung.
Pendakian
dilakukan secara ber-iringan. Satu kelompok laki-laki berjalan lebih dahulu,
dilanjutkan dengan dua kelompok perempuan setelah berjarak tiga meter yang
dilanjutkan kembali dengan satu kelompok laki-laki setelah jeda jarak yang
sama.
Rute
pendakian mengikuti rute downhill. Karena memang hanya itu rute yang bisa
diambil untuk mendaki gunung. Tiga puluh menit berlalu. Satu-dua peserta masih
mendaki dengan semangat. Sesekali terdengar senda-gurau satu sama lain.
Membantu temannya yang kesulitan saat menanjak jalur yang licin. Terkadang juga
mentertawakan mereka yang terpeleset. Semuanya terlihat bahagia. Dalam satu
kesempatan, mereka juga berpapasan dengan orang-orang yang sedang berolah-raga
downhill. Seperti halnya anak muda kebanyakan, orang-orang itu dipaksa
melakukan foto bersama.
Matahari
sudah mencapai titik puncaknya. Setelah melewati dua sungai kecil dan sungai
besar, tibalah mereka di tanah lapang di kaki gunung Kencana. Di atas sana
semuanya melangsungkan sholat zuhur, berdiskusi, orasi ilmiah dan membaca ikrar
kader LDK Al Iqtishod yang diwakili oleh dua belas peserta laki-laki.
Siang
itu cuaca benar-benar cerah. Tidak banyak awan yang melintasi langit. Setelah puas
bercengkrama di atas bukit. Semuanya kembali ke area perkemahan melalui jalur
yang sama.
Selepas
mendirikan sholat maghrib, seluruh peserta dan panitia kembali berbaris di
antara pepohonan di depan mushola. Menyelesaikan apa yang telah dimulai.
Upacara penutupan.
Beruntung
malam itu hujan tidak turun. Upacara berlangsung dengan lancar. Sesaat setelah
pembawa acara mengucapkan kalimat penutup. Semuanya mendesah napas. Lega.
Satu-dua peserta mulai memeluk temannya satu sama lain. Saling meminta maaf dan
memaafkan jika ada kesalahan yang tercipta. Tidak lupa, dua aktor utama pembuat
onar juga ikut meminta maaf kepada seluruh peserta atas insiden yang terjadi
sore tadi.
Beberapa
jam sebelumnya. Pukul 17.00.
“Apa
yang kau inginkan ?” Arif Sumandar, ketua LDK maju ke depan. Melangkah dan
berhenti tepat di depan Ammar. “Mereka lelah, baru saja turun dari gunung.
Tidakkah kau melihatnya ?”
Saat
itu peserta laki-laki sedang berada dalam posisi siaga push up sedangkan yang
perempuan dalam posisi siaga bending. Wajah mereka terlihat kuyu. Tak kuasa
menahan lelah dan letih fisik mereka.
“Ow…Ow…”
Ammar mengangkat tangannya. “Saya tahu mereka lelah. Tahu sekali. Berhari-hari
mereka menjalani kegiatan yang padat dan baru saja menuruni kaki gunung
Kencana. Tentu bukan hal yang wajar jika ada di antara mereka yang masih segar
bugar. Tapi mau dikata apa. Nasi sudah menjadi bubur. Aturan sudah ditegakkan
di awal.”
“Apa
yang kau inginkan ?” Arif menggeram. Jika saja situasinya berbeda, sejak tadi
ia akan meninju orang yang ada di hadapannya. Tapi di sekitarnya ada banyak
kader-kadernya yang menyaksikan. Kondisinya sendiri juga sudah lelah.
“Hukuman.
Itulah yang aku inginkan” Ammar menjawab sambil tersenyum merendahkan.
“Hei
! kau tid-“
“
Ow…Ow… benar-benar ketua yang berhati baik. Lihatlah ! dia mencemaskan
kadernya. Meski kau harus tahu, kadang terlalu baik hati dekat sekali dengan
kebodohan, Ketua.”
“Sejujurnya
aku juga tidak suka harus melakukan ini. Tapi inilah faktanya. Ada sebab, ada
akibat. Mereka sudah melanggar aturan yang ditetapkan. Maka harus ada hukuman
yang mereka tanggung. Jika saja mereka patuh, hal ini tidak akan pernah
terjadi.”
“Ayolah
kawan, bagaimana kau akan membentuk kader-kader yang militan, tangguh dan
peduli jika kau selalu mendidiknya seperti kau mengasuh bayi ?” Ammar menatap Arif tajam.
Kali
ini Ammar mendorong Arif. Keras. Satu-dua panitia mencoba melerai mereka
berdua. Gerah dengan situasi ini.
Sambil
berjalan mengitari para peserta, Ammar melanjutkan “Coba kau ingat. Ada tiga
cara untuk menyikapi kemungkaran. Dengan tangan, lisan dan dengan hati. Hei,
jika begitu kemungkaran juga bisa terjadi melalui tiga tingkatan itu. Bayangkan
jika ada musuh yang mengusik kenyamanan kalian. Perompak bersenjata lengkap dan
berpengalaman misalnya. Apa bisa mengatasi kemungkaran sejenis itu dengan lisan
? atau mungkin dengan hati ? hah ! apa bisa !?” teriaknya.
“Bagaimana
mungkin seorang kader bisa melindungi diri dan orang lain dari para perompak
itu ? Kader yang apabila bersalah selalu dilindungi atau hanya di doakan dalam
hati. Berharap segera berubah. Bilapun dimarahi, hanya sebatas retorika.”
“Mereka
butuh penggemblengan fisik secara tegas, jika perlu sedikit dibumbui dengan
kekerasan yang tentunya masih dalam batas kesanggupan mereka. Dan aku yakin
mereka masih sanggup menanggung hukuman atas kesalahan yang mereka lakukan
sendiri.” Ammar menarik napas dalam dan
berseru, “posisi siaga push up, bersiap push up 120 kali !”
Tidak
lagi peduli dengan sekitarnya. Arif balas mendorong Ammar. Lebih keras. Tidak
terima. Adu mulut pun tak terhindari. Saling mengumpat. Saling merendahkan.
Merasa pendapatnya yang paling benar.
Ya
Rabbi, Ayas bergumam.
Apalah
artinya kebenaran jika kebenaran saling menjatuhkan. Hanya memandang dari satu
sisi, mengabaikan sisi yang lain. Membiarkan keegoisan menghasut diri.
Dari
kejauhan Ayas melihat ada dua peserta perempuan yang tumbang. Pucat. Sesak
napas. Tidak kuat lagi menyaksikan perang di hadapan mereka.. Yang lain
wajahnya terlihat cemas. Ada juga yang sampai menangis.
Matahari
mulai condong ke ufuk Barat. Waktu maghrib hampir tiba. Dan pertengkaran belum
juga selesai.
Kini,
suara-suara hewan malam kalah riuh dengan pertengkaran mereka berdua. Menelan
kesunyian malam yang seharusnya tercipta.
Akhirnya,
setelah sejenak tenang. Mendengarkan lantunan kumandang adzan maghrib.
Kesepakatan pun terjalin. Jumlah hukuman untuk peserta dikurangi menjadi dua
puluh kali.
---
Satu
jam kemudian. Suara deru mobil tronton kembali terdengar. Kali ini datang untuk
menjemput peserta dan mengantarnya kembali ke Sentul. Di tengah gelap malam,
lampu depan mobil itu mantap sekali menyinari lapangan area perkemahan. Peserta
dan panitia sudah selesai mengemas perlengkapannya masing-masing dan kembali
memasukkannya ke dalam mobil.
Sambil
menyeret langkah, Ayas berjalan menuju mobil. Sudah tidak ada lagi tenaga yang
tersisa baginya untuk melangkah tegap. Menengadahkan wajah. Memandang langit.
Sejenak ia kembali merenung. Dan mengucapkan rasa syukur yang mendalam di atas
segalanya kepada yang Maha Agung. Walau panas, insiden yang terjadi sore itu
hanya sebuah drama. Ia juga bersyukur, kejadian itu mengingatkan dirinya atas
nasihat lama.
Problematika
kaum Muslimin saat ini bukan disebabkan jumlah mereka yang kurang. Problematika
dakwah Islamiyah hari ini tidak terletak pada minimnya jumlah orang yang komit
dengan keislamannya di tengah umat yang banyak meninggalkan sholat, berbuat
bid’ah dan membawa pikiran-pikiran kafir. Karena di setiap kawasan Islam masih
ada pemuda-pemuda baik yang banyak jumlahnya. Tetapi masalah yang sebenarnya
adalah mereka tidak mendeklarasikan keislaman mereka dan tidak berdakwah, atau
berdakwah namun tanpa koordinasi di antara mereka…berjalan sendiri-sendiri.
Sebelum
menaiki mobil, di depan pintu mobil, Ayas berhenti dan berpaling. Menatap
kembali hutan yang sudah banyak memberikannya pelajaran dengan tatapan syahdu.
Dan bergumam,
Terima
kasih.
*Feature News Leadership Challenge
Artworker: LDK Al-Iqtishod
LDK Al-Iqtishod adalah Lembaga yang menaungi seluruh kegiatan dakwah islamiyah untuk menegakkan Tauhid dan Sunnah, serta mengajak kepada Amar Maruf Nahi Munkar di lingkup civitas Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia khususnya dan di Bumi Allah umumnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Share is caring, Silahkan berbagi apa saja di sini.