DISDUS Al-Iqtishod : "Hati itu
Licin, Hati-Hati Kepleset!"
Kembali giliran Divisi ANNISA, divisi kemuslimahan LDK Al-Iqtishod
memberi asupan pengecas ruhani kepada akhwat-akhwat di lingkungan kampus STEI
Tazkia setiap bulannya. Kajian yang bertajuk Diskusi Solutif Seputar Dunia
Muslimah atau akrab dengan singkatan DISDUS. Tema yang diangkat dalam
DISDUS ini selalu berhasil menarik antusias jamaah yang hadir, kali ini Annisa
mengangkat tema yakni "Hati itu Licin, Hati-Hati Kepleset!"
Rabu, 09 November 2016 ruangan 1.3 Kampus STEI Tazkia dipadati oleh jamaah
Akhwat baik dari internal LDK sendiri maupun berasal dari organisasi/mahasiswi
non LDK.
Kajian yang
menitik beratkan pada realita yang terjadi di kalangan mahasiswi ini di isi
oleh pembicara yang sangat luar biasa yakni Ustadzah Sarah Zakiyah
S.Pd.I. Dengan berjalannya diskusi dua arah antara jamaah dan
pembicara, semakin menambah ghirah para jamaah untuk mendiskusikan tema yang
diangkat.
Berikut Notulensi Kajian DISDUS LDK
Al-Iqtishod.
HATI, betapa ia punya posisi penting bagi keselamatan di akhirat
kelak. Bila segenap indera dipermisalkan seperti sebuah pasukan perang, maka
adalah hati panglimanya. Begitupun, jika kiranya seluruh indera diperumpakan
bagai system pemerintahan, maka dialah hati sebagai kepala negaranya. Baik
buruk keadaan, ditentukan oleh keputusan-keputusan hati.
Kerja hati hanya mecintai, nafsu dan candu.
Hati
merupakan inti dari Jasad yang mana berfungsi sebagai tempat keluarnya fatwa.
Tanda-tanda
hati yang tidak bisa dijadikan sebagai sumber fatwa :
-
Tidak pernah sedih kehilangan
amal-amal shaleh yang biasa dilakukan.
-
Tidak pernah sedih dalam
tergelincirnya hati.
Kisah
tentang keimanan dan Cinta yang disajikan dalam kajian, kemudian penulis
rangkum dari berbagai sumber.
Kisah tentang Thalhah dan Aisyah
“Kalau ingin melihat syahid
yang masih berjalan di muka bumi”, begitu Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada
Thalhah”. Dan Thalhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang
tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di
pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.
Tetapi tiap pahlawan punya
kisahnya sendiri.
Satu hari ia berbincang
dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah
datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi
wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur
diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah.
Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain
mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Satu saat dibisikannya
maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah
wafat.”
Gumam hati dan ucapan
Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat
kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi
itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi
hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak
boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan
padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan
kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki
sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri
kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita
jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan
kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan
punya kisahnya sendiri.
Sesudah wafatnya ‘Utsman
ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah
bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk
menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para
pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan
‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya
terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di
tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam perang
yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon
agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az
Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata
meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah
berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu
pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini
mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap
tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan
selain itu.
Sesudah menyeka air mata,
‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela
nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah
turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita
untuk menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya
bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu Thalhah.
“Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya
batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali
kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat
itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi Thalhah.
Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah
beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru
membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan
berperang di sisimu?”
Thalhah
menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat
berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah
‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak
menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam,
sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.
Seusai
pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia
berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk
orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh
tujuh;
“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang
mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”
Sumber
Bacaan : “Dalam
Dekapan Ukhuwah” karya Salim A.Fillah
Red
: Divisi Syiar LDK Al-Iqtishod
0 komentar:
Share is caring, Silahkan berbagi apa saja di sini.