Alif telah mendengar banyak cerita
dari ibunya. Dua di antaranya begitu melekat di pikirannya. Pertama, setelah
kehidupan di dunia akan ada kehidupan lain di akhirat. Kedua, Allah telah
menyediakan surga dan neraka di akhirat. Dari kedua cerita tersebut, Alif
menarik kesimpulan bahwa surga adalah sebuah tempat untuk orang-orang yang
beriman dan beramal saleh. Sementara neraka adalah tempat untuk orang-orang
ingkar dan tak mau tunduk pada perintah Tuhan. Tapi di malam lain, ibunya
justru menceritakan sebuah kisah yang bertentangan. Cerita tentang Nabi
Idris—manusia pertama yang masuk surga sebelum menemui ajal di dunia.
Alif seketika bangkit dari pangkuan
Ibu. “Bagaimana cara Nabi Idris melakukannya, Bu?”
Ibunya merangkai cerita, menerangkan
kisah Nabi Idris yang enggan keluar setelah tiba di alam surga. Dan Alif
kembali bertanya, “Apa Ibu tahu jalan menuju surga?”
“Tidak. Ibu hanya mendengar cerita
lain tentang Pulau Ya.” Ibu merangkul Alif, lantas membenamkan kepala anak itu
ke pangkuannya. “Konon, pulau itu dapat bicara dan dapat menunjukkan jalan
menuju surga. Tapi, kita mesti menyeberangi tiga sungai terlebih dahulu. Ada
Sungai Ba, Sungai Ta dan Sungai Tha.”
***
Pagi itu, Alif telah tiba di Sungai
Ba. Ia mengucap bismillah, lalu mulai bersila dalam perahu berbintang satu.
Sementara Ibu, mulai memandang daratan di seberang sungai—sebuah daratan di
antara Sungai Ba dan Sungai Ta. “Wahai Perahu Berbintang Satu, antarkan anakku
ke tepi sana,” ucap Ibu, dan perahu mulai melaju.
Di dalam perahu, Alif begitu hanyut
memandangi sungai yang alangkah jernih. Ia melihat batu-batu kecil, aneka lumut
dan ikan-ikan yang berenang di dasar sungai. Sementara perahu terus melaju.
Melaju terus dari arah kanan ke arah kiri. Sesekali, Alif masih mengalih
pandangannya ke belakang—menyaksikan ibunya yang terlihat semakin kecil di
pinggir sungai.
Perjalanan terasa singkat. Dalam
waktu dekat, Alif telah tiba di daratan lain setelah menyeberangi sungai
pertama: Sungai Ba. Tanpa memikirkan ibunya yang masih berdiri di pinggir
sungai, Alif segera melangkah menyusuri jalan setapak. Ia terus melangkah dari
arah kanan ke arah kiri. Ia ingin secepatnya sampai ke Sungai Ta, lalu
menyeberangi sungai itu, sungai lain dan menghadapi beberapa rintangan sebelum
tiba di Pulau Ya.
Tak lama, Alif telah tiba di pinggir
Sungai Ta. Di sana, ia menemukan perahu lain berbintang dua. Tanpa memikirkan
ibunya, anak itu segera melangkah ke dalam perahu. “Antarkan aku ke seberang
sana,” katanya pada perahu berbintang dua.
Perahu segera melaju, dan dalam
waktu singkat, ia telah tiba di pinggir darat. Alif lekas berdiri, lalu segera
melompat dari perahu bermata dua. Anak itu mulai berlari menyusuri jalanan
lurus. Ia terus berlari dan melupakan ibunya yang tentunya masih berdiri di
pinggir sungai. Langkahnya baru terhenti setelah bersua dengan sebuah sungai
yang airnya mengalir deras.
Di pinggir sungai yang airnya
mengalir deras, Alif memandangi daratan lain yang lebih jauh. Sungai ini jauh
lebih lebar dari dua sungai sebelumnya. Sambil memejamkan mata, anak itu melangkahkan
kaki ke dalam perahu berbintang tiga. Perahu segera melaju, sementara Alif
masih enggan membuka mata. Ia begitu cemas, bila saja perahunya oleng dan ia
akan jatuh, lalu hanyut ke sebuah tempat yang entahlah. Tapi, itu sekadar
ketakutan di pikirannya. Ia sesaat tersentak, terlempar ke belakang saat perahu
menabrak daratan.
Alif kembali berdiri. Melangkahkan
kaki ke luar perahu lalu melanjutkan perjalanan. Tapi di tengah perjalanan,
anak itu dihadang seekor burung. Burung raksasa, yang tubuhnya jauh lebih besar
dari bengkalai burung onta. Ia tak mau mencari perkara. Ia menepi, ingin
menghindar ketika burung itu memanggil—menanyakan tujuan.
“Aku ingin ke Pulau Ya. Kau siapa?”
tanya Alif ketakutan.
“Perkenalkan, namaku Jim, salah satu
burung yang biasa mengantar manusia dalam perjalanan ke Pulau Ya.”
Alif masih ragu, tapi menguatkan
diri untuk bertanya. “Kau bisa mengantarkanku ke Pulau Ya?”
“Aku bisa saja mengantarkanmu ke
Pulau Ya. Tapi, kau mesti melewati beberapa rintangan untuk sampai ke pulau
itu.”
Alif merenung sejenak, lalu
menanyakan rintangan apa yang mesti dilewatinya.
“Aku akan mengantarkanmu ke Burung
Ha, yang akan mengantarkanmu ke Burung Kha. Setelahnya, Burung Kha akan
mengantarkanmu pula ke jalan sempit. Di jalan sempit itu, kau akan bertemu
dengan Dal, Thal, Ra, dan Zay. Mereka adalah empat makhluk yang selalu duduk
dengan saling membelakangi. Mereka tidak akan beranjak sebelum kau menjawab
teka-teki yang diberikan. Tapi bila kau telah menjawabnya dengan benar, mereka
akan berdiri satu per satu, lalu mengizinkanmu melanjutkan perjalanan.”
Alif mengerti. Lantas, ia segera
naik ke pundak Burung Jim. Burung itu segera mengepakkan sayap—mulai terbang
melewati dahan, reranting kecil, dan pucuk pepohonan. Alif melihat bawah,
menyaksikan hamparan hijau yang menyejukkan. Ia juga dapat melihat Sungai Tha,
Sungai Ta, dan Sungai Ba. Anak itu juga sempat melihat seorang perempuan paruh
baya yang sedang melambaikan tangan, yang masih berdiri di pinggir sungai.
Tapi, ia kembali menoleh ke arah depan, membuang pandangan, dan mulai
berpegangan di pundak Jim. Alif ingin segera sampai ke Pulau Ya. Ia ingin
menanyakan jalan menuju surga.
Waktu berjalan cepat. Alif baru saja
turun dari pundak Burung Kha, setelah berpindah dari pundak Burung Ha yang
menerimanya dari pundak Burung Jim. Kini, ia kembali melangkah di jalan
setapak. Tak lama, Alif menemukannya. Anak itu melihat empat makhluk yang
sedang duduk berjajaran di jalan setapak. Sambil menyeka keringat yang menetes
di ujung rambutnya, Alif mengutarakan keinginannya. Katanya, ia ingin
berkunjung ke Pulau Ya.
“Yang menjadi imam di waktu shalat,
yang menjadi pemimpin di kala perang.” Dal mengajukan teka-teki.
Alif tak perlu berpikir sebelum
menjawabnya. Ia seketika ingat sebuah cerita yang sering dituturkan Ibu. “Nabi
Muhammad,” jawabnya.
Dal lekas berdiri, lalu mengizinkan
Alif melewatinya. Alif kembali melangkah dan….
“Yang berlari dari kejaran, yang
membelah sebuah lautan.” Thal segera mengajukan teka-teki.
Alif berpikir sejenak, lalu kembali
teringat sebuah kisah yang diceritakan ibunya menjelang tidur. “Itu Nabi Musa,”
jawab Alif.
Thal tersenyum, lalu menyilakan anak
itu menemui Ra.
“Yang memerintah burung-burung. Yang
meluluhkan seorang ratu.”
Aku baru saja mengendarai
burung. Apakah aku? pikir
Alif. Tapi tak mungkin. Ia tidak memerintahkan burung-burung.
Justru burung-burung itulah yang telah membantu perjalanannya.
“Yang memerintah burung-burung. Yang
meluluhkan seorang ratu.” Ra kembali mengulangi teka-tekinya.
Alif berpikir keras dan kembali
mengingat kisah-kisah nabi yang pernah diceritakan ibunya.
“Kau tak bisa menjawab teka-tekiku?
Jika begitu, kau tidak kuizinkan melewatiku.”
Alif tampak pucat. Tapi, ia justru
berpikir lebih keras. Yang
memerintah burung-burung. Berarti yang ditakuti burung-burung, yang bisa
berbicara dengan burung. Dan yang meluluhkan seorang ratu. Ratu? Ratu Bilqis?
Apa maksudnya Nabi Sulaiman, yang telah mengirimkan surat ke Ratu Bilqis
melalui burung? Pertanyaan-pertanyaan
itu terus berulang di pikirannya.
Ra; yang sebelumnya duduk
memunggung, kini menoleh ke wajah Alif. “Pulanglah bila kau tak bisa menjawab
teka-tekiku.”
“Ya, aku bisa menjawabnya.
Jawabannya adalah Nabi Sulaiman. Ibuku pernah berkisah tentang seorang nabi
yang mengirimkan surat melalui burung. Surat itu dikirimkan untuk Ratu Bilqis.”
“Jawabanmu benar,” kata Ra, lalu
beranjak melapangkan jalan.
Tapi Alif mesti menjawab satu
teka-teki lagi sebelum melanjut perjalanan. Dan anak itu mulai tak sabar. Ia
menepuk punggung Zay, lalu menagih teka-teki.
“Yang mengantar kepergian. Yang
menunggu kepulangan.”
Siapa yang diantarkan dan ke
mana ia diantarkan? pikir
Alif. Nabi apa yang
melakukannya? Anak itu telah
mendengarkan semua kisah nabi dan ia tidak mengingat nabi apa yang
melakukannya. Terlebih nabi yang menunggu kepulangan. Menunggu kepulangan siapa?
“Apa kau menyerah?” tanya Zay.
Alif menyebutkan sebuah nama nabi
mesti tak pasti. Tapi jawabannya salah. Ia kembali menerka, menyebutkan
beberapa nabi lain dan jawabannya kembali salah. Anak itu telah menyebutkan
semua nama nabi dan tak ada jawabannya yang dibenarkan. Alif kembali merenung
dan seketika, ia mulai menyadari bahwa bukan jawaban itu yang diinginkan Zay.
Anak itu baru saja ingin menyerah, ingin
pulang menemui Ibu yang telah mengantarkannya
ke tepi sungai, yang tentu saja masih menunggu kepulangannya. Ia menoleh,
“Ibu…!” teriaknya, dan di saat bersamaan, Zay membenarkan.
***
Alif telah menyeberangi Sungai Ba,
Sungai Ta, dan Tha. Dia telah melewati pagar berduri dengan bantuan Burung Jim,
Burung Ha, dan Burung Kha. Dia juga telah memecahkan teka-teki yang diberikan
Dal, Thal, Ra, dan Zay. Ia bermenung sejenak, melihat belakang sebelum menatap
jauh ke arah depan. Ia baru saja menyelesaikan setengah rintangan, melangkahi
separuh perjalanan.
Alif mulai menyadari bahwa
perjalanannya masih sangat jauh. Tapi demi mengetahui jalan menuju surga, ia
mesti menyusuri sebuah jalanan tua di depan mata.
Alif kembali melangkah. Setelah
menyusuri jalanan tua, langkahnya sejenak terhenti ketika menemukan sebuah
sungai yang jauh lebih luas. Seketika, ia teringat percakapannya dengan Burung
Jim. Burung Jim telah mengatakan bahwa akan ada empat sungai lain yang jauh
lebih luas; Sungai Sin, Sungai Shin, Sungai Sad, dan Sungai Dad. Bahkan
katanya, tidak ada seorang pun yang bisa melihat sisi lain dari sungai-sungai
itu. Berdiri di tepi Sungai Sin, anak itu kembali cemas. Tapi, ia mesti melawan
kecemasannya. Alif telah bertekad untuk menyeberangi masing-masing sungai demi
keinginannya ke Pulau Ya.
***
Alif telah menyeberangi empat buah
sungai, lalu melanjutkan perjalanannya. Tak lama, ia kembali bersua dengan
sepasang burung; Burung Ta dan Burung Dha. Kedua burung itu jauh lebih besar
dari tiga burung yang ditemukan sebelumnya. Beruntung sepasang burung itu juga
berkenan mengantarkan, persis tiga ekor burung yang sebelumnya turut membantu.
Setelah berjalan lebih jauh, Alif
kembali mendapat hadangan dari lima makhluk yang menghujaninya dengan teka-teki
yang jauh lebih sulit. Mereka adalah ‘Ayn, Ghayn, Fa, Gaf, dan Kaf. Ia juga
telah mengeja jalan berliku di Pulau Lam, Pulau Mim, Pulau Nun, dan Pulau Waw.
Ia berjalan lebih jauh lagi sampai menemukan Hamza, sebuah batu loncatan
sebelum tiba di Pulau Ya.
Sembari melanjut perjalanan, Alif
seketika terkenang akan ibunya. Ia ingin kembali mendengarkan kisah Idris dan
lain-lain. Tapi, ah,
untuk apa? tanyanya dalam
hati. Sebentar lagi, ia akan tiba di Pulau Ya. Pulau itu akan menunjukkan jalan
menuju surga, akan mempertemukannya dengan Nabi Idris, dan setelahnya—Alif akan
melupakan Ibu selama-selamanya.
Akhirnya, setelah berjalan selama
berhari-hari, sampailah Alif ke Pulau Ya. Tapi alangkah terkejutnya anak itu,
ketika Pulau Ya mulai bicara.
“Kembalilah ke rumahmu bila kau
ingin ke surga.”
Alif balik bertanya.
“Temuilah Ibu yang mengantarkanmu.
Berlututlah padanya yang masih menunggu kepulanganmu. Dia menyayangimu dan
betapa ia takut kehilanganmu. Dia telah bersusah payah mengandungmu,
membesarkanmu, dan hormatlah kepadanya. Pijatlah kakinya setelah seharian
bekerja. Urutlah betisnya sampai ke telapak kaki, dan tak lama, kau akan
menemui surga yang kau cari. Ketahuilah, surga itu: terletak di telapak kaki
ibumu!”
Alif mulai mengenang wajah ibunya.
Air matanya seketika jatuh. Selama ini, ia tidak pernah bertanya; apakah ibunya
lelah setelah seharian bekerja. Ia tidak pernah memijit kaki ibunya bila malam
tiba. Sementara ibunya, tak pernah berkata tidak—untuk menceritakan kisah-kisah
pengantar tidur.
---------------
basabasi.co
Follow Us
Yuk Lebih dekat dengan kami tak terbatas jarak dan waktu, ruang serta dimensi.