Tetapi tiap pahlawan punya
kisahnya sendiri.
Satu hari ia berbincang
dengan ‘Aisyah, isteri sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rasulullah
datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shallallaahu ‘Alaihi
wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Thalhah memerah. Ia undur
diri bersama gumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah.
Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Allah, takkan kubiarkan orang lain
mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Satu saat dibisikannya
maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah
wafat.”
Gumam hati dan ucapan
Thalhah disambut wahyu. Allah menurunkan firmanNya kepada Sang Nabi dalam ayat
kelimapuluhtiga surat Al Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi
itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi
hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak
boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan
padanya, Thalhah menangis. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan
kesepuluh untanya untuk jalan Allah, dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki
sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri
kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Thalhah. Wanita
jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan
kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakr yang pernah dicintai Thalhah.
Begitulah, tiap pahlawan
punya kisahnya sendiri.
Sesudah wafatnya ‘Utsman
ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Thalhah
bersama Zubair ibn Al ‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Thalib untuk
menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para
pembunuh ‘Utsman yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekhalifahan
‘Ali ibn Abi Thalib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya
terbatas. Thalhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di
tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam perang
yang dikenal sebagai Waq’ah Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon
agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Thalhah dan Az
Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata
meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rasulullah
berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu
pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini
mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap
tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada jalan
selain itu.
Sesudah menyeka air mata,
‘Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela
nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah
turunkan ayat tentang hijab bagi isteri Nabi dan mengapa Dia melarang kita
untuk menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya
bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu Thalhah.
“Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya
batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali
kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat
itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi Thalhah.
Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah
beliau Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru
membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan
berperang di sisimu?”
Thalhah
menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat
berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah
‘Ali, Thalhah, bersama Az Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak
menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Thalib dengan duka yang begitu dalam,
sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.
Seusai
pemakaman, ‘Ali menimang putra Thalhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia
berbisik. “Nak,’ kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk
orang-orang yang difirmankan oleh Allah di Surat Al Hijr ayat keempatpuluh
tujuh;
“Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang
mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”
Follow Us
Yuk Lebih dekat dengan kami tak terbatas jarak dan waktu, ruang serta dimensi.